Apa itu Konformitas ?
Adalah suatu jenis pengaruh sosial ketika seseorang mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. ~Wikipedia
Pada
tahun 1990 di Rio de Janeiro, Brazil, remaja laki-laki dan perempuan nya
terlibat dalam permainan yang membahayakan dan nekat. “Surfing” atau
berselancar diatas kereta, berdiri dengan tangan diulurkan kedepan (seperti
berselancar di ombak) selagi kereta meluncur dengan kecepatan tinggi. Meskipun
faktanya bahwa rata-rata 150 remaja meninggal setiap tahun karena aktivitas ini
dan 400 lebih dari remaja terluka karena terjatuh dari kereta atau tersengat kabel
listrik 3.000 volt, aktivitas “surfing” ini masih terus berlanjut (Arnett,
1995). Baru-baru ini di U.S dan Australia, remaja “berselancar” dengan mobil
berkecepatan tinggi menjadi masalah yang semakin berkembang. Kecelakaan berat
dan kematian akibat “berselancar” telah dilaporkan di Massachusetts, Ohio,
Arizona, Wisconsin dan New South Wales, Australia (Daniel & Nelson, 2004).
Train Surfing - images courtesy from Odde.com |
Mengapa beberapa remaja terlibat didalam perilaku beresiko
seperti ini ? Kenapa seseorang mengikuti arahan suatu kelompok walaupun
menghasilkan perilaku yang kurang pantas daripada pantas dan yang mungkin membahayakan ?
Kami meragukan bahwa remaja Brazil, Amerika, atau Australia meresikokan nyawanya untuk melakukan konformitas yang bersifat informasional. Sangat sulit untuk memperdebatkan bahwa laki-laki atau perempuan yang memandang kereta tersebut akan berkata, “Ya ampun, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku kira berdiri diatas kereta yang bergerak 60 mil/perjam kelihatannya masuk akal, toh orang lain juga melakukan.” Contoh ini memberitahukan kita bahwa suatu hal lain menjelaskan kenapa kita lebih melakukan konformitas daripada kebutuhan untuk mencari informasi: Kita juga melakukan konformintas jadi kita bisa disukai dan diterima oleh orang lain. Kita melakukan konformitas kepada norma kelompok sosial, yang mana ada aturan yang harus dipatuhi (terkadang tegas) sebagai penerimaan nilai perilaku dan keyakinan (Deutsch & Gerard, 1955; Kelley, 1995; Miller & Prentice, 1996). Kelompok mempunyai perkiraan pasti tentang bagaimana anggota kelompok harus berperilaku, dan pendirian anggota nya dalam melakukan konformitas dari aturan-aturan ini. Anggota yang tidak diterima (oleh kelompoknya) adalah yang berbeda, payah, dan akhirnya menjadi menyimpang.
Kami meragukan bahwa remaja Brazil, Amerika, atau Australia meresikokan nyawanya untuk melakukan konformitas yang bersifat informasional. Sangat sulit untuk memperdebatkan bahwa laki-laki atau perempuan yang memandang kereta tersebut akan berkata, “Ya ampun, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku kira berdiri diatas kereta yang bergerak 60 mil/perjam kelihatannya masuk akal, toh orang lain juga melakukan.” Contoh ini memberitahukan kita bahwa suatu hal lain menjelaskan kenapa kita lebih melakukan konformitas daripada kebutuhan untuk mencari informasi: Kita juga melakukan konformintas jadi kita bisa disukai dan diterima oleh orang lain. Kita melakukan konformitas kepada norma kelompok sosial, yang mana ada aturan yang harus dipatuhi (terkadang tegas) sebagai penerimaan nilai perilaku dan keyakinan (Deutsch & Gerard, 1955; Kelley, 1995; Miller & Prentice, 1996). Kelompok mempunyai perkiraan pasti tentang bagaimana anggota kelompok harus berperilaku, dan pendirian anggota nya dalam melakukan konformitas dari aturan-aturan ini. Anggota yang tidak diterima (oleh kelompoknya) adalah yang berbeda, payah, dan akhirnya menjadi menyimpang.
I'm Different - images courtesy from Scription |
Anggota yang menyimpang bisa menjadi bahan ejekan, dihukum,
atau ditolak oleh anggota kelompok lainnya (James & Olson, 2000; Kruglanski
& Webster, 1991; Levine, 1989; Miller & Anderson, 1979). Di Jepang,
seluruh kelas (bahkan seluruh sekolah) kadang akan berubah melawan satu oleh
siswa yang merasa dirinya berbeda. Para siswa nya akan berganti-gantian antara
mengganggu dan menghindari individu tersebut. Dalam kesatupaduan yang tinggi,
budaya berorientasi pada kelompok seperti Jepang, jenis perlakuan semacam ini
sudah amat sangat besar dan menghasilkan sesuatu yang tragis: remaja 12 tahun
korban bullying bunuh diri dalam satu tahun (Jordan, 1996). Fenomena social
lainnya di Jepang adalah hikikomori,
remaja (kebanyakan laki-laki) yang mencabut diri dari segala interaksi social.
Mereka menghabiskan semua waktunya sendirian, didalam kamarnya di rumah orang
tua nya. Beberapa kasus hikikomori masih
tetap mengasingkan diri selama satu dekade (sepuluh tahun). Psikolog Jepang
menyatakan bahwa hikikomori adalah
korban dari bullying yang keras sebelum akhirnya mereka menarik diri (Jones,
2006).
Hikikomori - images courtesy from JapanFocus.org |
Kita manusia sudah secara alami adalah makhluk sosial.
Beberapa dari kita bisa hidup bahagia sebagai petapa, tidak pernah melihat atau
berbicara kepada orang lain. Melalui interaksi dengan yang lainnya, kita
menerima dukungan emosional, kasih sayang dan cinta, dan kita ikut serta dari
pengalaman yang menggembirakan. Orang lain sangat luar biasa penting untuk
kehidupan kita. Penelitian dari individu yang telah mengasingkan diri dalam
jangka waktu yang lama mengindikasikan bahwa penarikan diri dari kontak
terhadap sesama manusia adalah akibat stress dan traumatis (Baumeister &
Leary, 1995; Schachter, 1959; William, 2001).
Telah sangat menjadi kebutuhan dasar bagi manusia dari
persahabatan sosial, tidak mengejutkan lagi bahwa kita sering melakukan
konformitas untuk dapat diterima oleh orang lain. Konformitas adalah alasan normatif
yang terjadi dalam situasi dimana kita melakukan apa yang orang lain tidak
lakukan karena kita menggunakan mereka sebagai sumber dari informasi tapi
karena kita tidak menarik perhatiannya, memperolok-olok, terlibat masalah, atau
ditolak. Pengaruh normatif sosial yang demikian terjadi ketika pengaruh dari
orang lain menuntun kita untuk melakukan konformitas untuk disukai tau diterima
oleh mereka. Ini jenis dari hasil konformitas dalam pemenuhan secara publik dengan
keyakinan kelompok dan perilaku tapi tidak diperlukan dalam penerimaan secara
pribadi (Cialdini et al., 1991; Deutsch & Gerard, 1955; Levine, 1999; Nail,
McDonald, & Levy, 2000).
Anda mungkin tidak terlalu terkejut bahwa orang-orang kadang melakukan konformitas untuk disukai atau diterima oleh orang lain. Kamu mungkin berpikir, dimana letak kerugiannya? Bila suatu kelompok sangat penting bagi kita dan memakai pakaian yang tepat atau memakai kata-kata gaul akan mendapatkan penerimaan untuk kita, kenapa tidak? Tapi ketika itu menjadi jenis perilaku yang lebih spesifik lagi, seperti menyakiti orang lain, tentu saja kita akan menolak atas tekanan konformitas yang seperti itu. Dan tentu saja kita tidak akan melakukan konformitas ketika kita yakin dari cara apa mereka berprilaku dan tekanan normatif sosial yang datang dari kelompok yang tidak kita pedulikan sama sekali. Atau mau kah kita menjadi demikian?
Konfromitas - images courtesy from Cuny.edu |
Artikel ini di translasikan oleh penulis dari:
Aronson, A., Wilson, D. T & Akert, R. M. Psychology Social - Normative Social Influence: The Need to Be Accepted. Sixth Edition.
No comments:
Post a Comment